Friday, November 14, 2008

Belajar Hidup dari "The True Little SEFTer From East Java" (Selingan#3)

Umurnya 12 tahun, anak pertama, parasnya cantik, badannya tegap, matanya tajam, jiwa sosialnya tinggi dan ramah.
Aku menyebutnya, RUSA TUTUL...karena dia memang terlihat indah, bahkan saat dia 'sakit' sekalipun..

SATU
TRAUMA

Sekitar empat tahun lalu, ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Peristiwa ini yang diduga kuat menjadi awal trauma menumpuk yang bersemayam di benaknya.
dia sangat khawatir ibu dan adik2nya akan meninggal dengan cara yang sama. kekhawatiran ini terus mengakar menjadi ketakutan yang luar biasa. ditambah, kehilangan orang yang paling dicintainya. dari keterangan ibunya, anak ini adalah duplikat ayahnya. mulai fisik sampai perangai, juga sifat sosialnya yang sangat menonjol. dia sangat dekat dengan ayahnya. dalam perjalanannya, ia juga diduga 'diganggu' makhluk halus. ini kemungkinan karena dia suka menyendiri di kamar atas rumahnya. kebetulan anak ini memang pemberani. Mulailah, ia sering merasa ada yang mengikuti di belakangnya. lalu ada yang menindih perutnya,
sehingga terasa sangat sakit. sejak saat itu keceriaanpun berangsur hilang...berganti sikap khawatir yang berlebihan. murung. diam. takut kegelapan. takut di kamar mandi.takut naik mobil. takut ibunya kecelakaan. takut adiknya kenapa - napa. selalu merasa diikuti makhluk halus. dan sejumlah ketakutan yang membuatnya membeku.

Puncak tumpukan ketakutan dan kegelisahannya adalah ketika terjadi banjir besar di desanya.
yang sempat menenggelamka n sekitar kampungnya setiggi satu meter hingga beberapa hari.
Anda bisa menduga, apa manifestasi ketakutan itu? sepanjang waktu ia berlarian ke sana ke mari...berkeliling ruangan, berlari ke ruang lain...sambil meneriakkan kata WEDI (takut-Jawa, red) tanpa henti..WEDI...WEDI. ..WEDI... WEDI...dan matanya terus bergerak tidak normal. melirik ke kanan ke kiri dengan cepat. kalau orang Suroboyo bilang, mripate kocak. Melihat itu, ibunda dan neneknya, hanya terdiam, berdiam di ujung ruang...dan menangis...tak tahu apa yang harus dilakukan. ketika ibunya bertanya WEDI apa nak? dia malah menjawab. "Ibuk iki piye, wedi yo wedi. kok ditakokno" (ibu ini gimana, takut ya takut. kok ditanyakan) Mungkin....dia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan ketakutan yang sudah menggunung.
Sebelum keluhan si anak ini memuncak, sebenarnya orang tuanya sudah mengusahakan berbagai pengobatan. Tapi puncak trauma membuat mereka mengerahkan tenaga lebih banyak untuk mendorong kesembuhan si anak.

DUA
PERTEMUAN

Pertama kali aku bertemu dengan anak ini, di rumah budenya. sepulang dari berobat di surabaya. Aku terkesima. Jika selama ini aku mendengar tentang dia dari budenya. hari itu aku melihat langsung. duduk berhadapan. Sejak duduk, dia tak pernah berhenti menggerakkan kakinya, memukul mukulkan ke lantai, matanya kocak, dan hanya menoleh ke kanan dan ke kiri. budenya coba mengenalkanku. .."ini temannya bude nak.."dia melihatku dengan pandangan kosong...danketika kutanya 'sampeyan sakit apa' dengan tegas dia menjawab 'sakit bingung'.aku kaget...'kok tahu kalau sakit bingung?" 'iya soalnya bingung pingin ke sana ke mari' 'kenapa pake bingung" 'iya, harus kemana dulu. nanti kalau pingin ke sana, sudah kesana, pingin ke sini. kalau dah di sini, pingin ke sana. Capek" aku mengatupkan gigi menahan tangis..."ya Alloh, betapa melelahkannya menjalani sakit seperti itu.
berjalan ke sana kemari itu dia lakukan sepanjang hari. dan hanya berhenti ketika malam.
dalam bayanganku, kadang orang dengantrauma begitu, cenderung introvet. tapi anak cerdas ini tidak. dia cukup welcome dengaku. dan membiarkan saja ketika aku mencoba tapping.
Mungkin pertemuan itu mengesankan baginya juga bagiku. karena sejak hari itu, dia terus minta tapping. alhasil, rencana berkunjung seminggu, molor hingga satu bulan...hehe. .
Sejak itu pula, usaha penyembuhan menjadi bertambah. bukan hanya dengan Psikiater, Tabib, juga SEFT Aku sempat berkata ke ibunya dengan nada profokatif,' kita pepet terus aja penyakitnya. apapun penyakitnya dengan tiga peluru. Psikiater, Tabib dan SEFT' hehe, alhamdulillah, ibunya sepakat. sambil mengkonsumsi berbagai obat jiwa, ramuan dari Tabib, dia juga rajin tapping. yah menjalani terapi SEFT ala kadarnya. ente - ente semua khan tahu, gue bukan psikolog. jadi...hanya bermodal kekuatan hati dan kepercayaan bahwa selalu ada obat untuk setiap penyakit. wes, pokoke mlakuuu..... dan niteni....
banyak warna warni bentuk terapinya. mulai dari tapping biasa, sampai menyusuri pematang tambak di siang bolong. menyusuri tepi bengawan. adaptasi ruangan. menyanyi, menari, bercanda, sampai tidur berdua dengan pengantar cerita cerita ringan.
untungnya anak ini cerdas dan supel. sehingga komunikasi kami gampang. dia juga cukup lancar ketika saya minta untuk menuliskan semua traumanya. hanya setengah jam, ia bisa menulis hampir 100 keluhan. setiap hari, dia menghitung sendiri kesembuhannya.
ketika dia tidak lagi takut air, maka kesembuhannya tambah berapa persen, gaktakut ke kamar mandi bertambah berapa persen..dan seterusnya. tapi....sebelum ia terlalu bergantung padaku....aku memutuskan untuk pulang. aku masih ingat, ketika aku pulang dia berkata...
"sembuh saya masih 50 persen, jadi kurang 50 persen" dia memang begitu,
banyak kata dan kalimatnya yang layaknya orang dewasa. "nanti kalau mbak yulia kesini lagi, saya dah sembuh". saya tidak tahu,
apakah itu kalimat pengharapan, atau janji atau apa. Tapi aku senang mendengarnya. ...
Yulia
sumber www.logos-institute.com

0 comments:

Post a Comment

Add to Technorati Favorites

Recent Comment

Recent Post

  © Blogger template 'Perfection' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP